Jokowi membangun
IndonesianReview.com
-- Mirip dengan iklan Teh Botol: “Apapun proyeknya, Cina pemodalnya.”
Inilah yang terjadi di era pembangunan saat ini.
Cina paham betul bahwa Indonesia sangat membutuhkan dana untuk
melanjutkan pembangunan. Pemerintah sendiri juga sudah menunjukkan
gairah besar untuk memburu utang di pasar komersial untuk membiayai
proyek-proyek infrastruktur. Soal berapa nanti pungutan yang akan
dikenakan pada masyarakat untuk membayarnya utang berbunga tinggi itu,
sampai sekarang pemerintah masih bungkam.
Lihat saja, Mei lalu pemerintah menerbitkan surat utang sukuk
bernilai US$2 miliar, atau terbesar di dunia. Tak tanggung-tanggung
pula, suku bunga yang ditawarkan lebih 4% di atas London Inter Bank
Offered Rate (LIBOR), yang menjadi patokan suku bunga utang komersial
dunia. Dengan kata lain, suku bunga sukuk bertenor 10 tahun ini juga
tergolong tertinggi di dunia.
Tak kalah dahsyatnya adalah tawaran kredit komersial bernilai Rp 650
triliun oleh dua bank BUMN dari Cina - Development Bank of China dan
International and Commercial Bank of China (ICBC) - kepada sejumlah
BUMN Indonesia. Kredit ini untuk membiayai sejumlah proyek infrastruktur
termasuk pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung, Light Rail Transit,
dan tol lintas Sumatra. Bunga yang ditawarkan adalah sekitar 3%.
Proyek-proyek infrastruktur biasa menggunakan kredit lunak atau semi
lunak untuk mengurangi beban masyarakat. Kredit semacam ini bersifat
Pemerintah ke Pemerintah, atau dari lembaga-lembaga keuangan dunia
seperti Bank Dunia, IDB, ADB, dan IMF. Hanya saja, agar ada jaminan
uangnya bakal kembali, lembaga-lembaga kreditor tersebut selalu
mengajukan syarat sangat berat, dan kerap menimbulkan kontroversi.
Persyaratan standar yang mereka tawarkan adalah kewajiban untuk
melakukan pemberantasan korupsi secara lebih serius, membangun sistem
keuangan yang transparan, penegakan hukum dan HAM yang tak hanya tajam
ke bawah, dan penghapusan anggaran belanja yang dianggap tidak perlu.
Bila gagal memenuhi kewajiban tersebut, bisa bernasib seperti
Yunanai saat ini. Di tengah kemerosotan ekonomi yang sangat tajam, para
kreditor justru menghentikan aliran dana ke negara ‘para filsuf’ itu.
Akibatnya gaji para PNS, polisi, tentara, dan pensiunan kini tak jelas
nasibnya. Demikian pula dengan berbagai kebutuhan pokok Yunani yang
masih harus diimpor seperti BBM dan bahan pangan.
Bila pemerintah menerima tawaran kredit komersial dari Cina,
persyaratan memang tak seberat bila berutang dari Bank Dunia dan
sebagainya. Apalagi, selain berharap untung besar dari suku bunga, pihak
Cina juga melihat bahwa proyek infrastruktur itu sendiri bisa
mendatangkan keuntungan secara keuangan dan ketenagakerjaan. Maklum ,
para kontraktor Cina dikenal sangat gemar memakai buruhnya sendiri untuk
menggarap proyek dimana saja berada.
Ekspor buruh kini memang sedang menjadi hobi Cina. Ini karena
perekonomiannya sedang lesu sehingga angka pengangguran meningkat secara
konsisten. Memburu proyek di luar negeri tak kalah penting bagi Cina,
karena permintaan dalam negeri merosot tajam sejak tahun lalu.
Terlepas dari bagaimana realisasi dari tawaran utang bernilai ratusan
triliun rupiah itu, pemerintah Indonesia tentu wajib belajar dari
proyek-proyek infrastruktur yang telah digarap Cina. Sudah menjadi
rahasia umum bahwa proyek pembangkit listrik 10 ribu megawatt sering
terlunta-lunta akibat rendahnya kualitas pembangkit buatan Cina.
Selain itu, Gubernur DKI Ahok juga telah berulang kali marah karena
ternyata bus-bus buatan Cina yang dipakai oleh Trans Jakarta terlalu
sering rusak. Inilah mengapa dia memutuskan untuk melibatkan para
pembuat bus dari Eropa dalam tender pengadaan bus Trans Jakarta.
Sejauh ini Jokowi tampaknya kurang peduli pada masalah di atas, dan
tetap mengandalkan Cina seperti dia pertontonkan selama Konferensi Asia
Afrika beberapa waktu lalu. Tak jelas apakah ini karena Cina sanggup
menawarkan harga lebih murah, atau kebaikan hati para konglomerat dari
Negeri Panda ini dalam menebar angpao.
Bangsa Kuli
Bangsa Kuli
http://indonesianreview.com/gigin-praginanto/bangsa-kuli

Jokowi membangun
IndonesianReview.com
-- “… di antara benua Asia dan benua Australia, antara lautan Teduh dan
lautan Indonesia, adalah hidup suatu bangsa yang pada mula-mula mencoba
untuk hidup kembali sebagai bangsa. Akhirnya kembali menjadi satu kuli
di antara bangsa-bangsa – kembali menjadi een natie van koelies (sebuah bangsa kuli) …. “ ( Soekarno – Tahun Vivere Pericoloso – 1964)
Dulu banyak orang bertanya, untuk apa para kreditor Cina
menggelontorkan dana secara besar-besaran ke proyek-proyek pembangunan
pemukiman berkelas dunia di Indonesia. Banyak pula yang bertanya-tanya
bagaimana di tengah kemiskinan yang masih merajalela, kantung-kantung
pemukiman bergelimang kemewahan bisa menjamur demikian hebat. Bukankah
ini hanya akan membuat kecemburuan sosial kian menjadi-jadi?
Kini Jawaban mulai terkuak. Pemerintah telah setuju untuk mengizinkan
orang asing memiliki properti di Indonesia. Dengan syarat, mereka hanya
boleh membeli apartemen mewah. Alasannya, untuk membuat bisnis sektor
properti makin bergairah. Sayangnya, pemerintah tak menjelaskan apakah
ini bagian-bagian dari program jangka panjang liberalisasi sektor
properti.
Yang sudah pasti adalah kenyataan, semua kuli bangunan pembangunan
proyek-proyek ‘wah’ tersebut adalah kaum pribumi. Mereka akan langsung
menghilang ketika proyek-proyek tersebut rampung. Lalu muncul kelompok
pribumi lain berseragam satpam, baby sitter, safari biru,
pramusaji dan pekerjaan kelas bawah lainnya. Sedangkan para majikan yang
menjadi penghuni tetap kawasan tersebut pada umumnya adalah kaum
non-pribumi.
Kenyataan ini tentu saja mencerminkan bahwa masalah ketimpangan
sosial-ekonomi di Indonesia masih ibarat ‘api dalam sekam’. Tinggal
menunggu angin dan BBM yang tepat untuk membakar seluruh sekam. Dengan
demikian, upaya untuk mencari terobosan adalah sebuah keharusan. Bila
upaya ini gagal, menurut Amy Chua dalam bukunya World on Fire,
berbagai kekerasan sebagai balas dendam bakal sulit dibendung. Chua
mengacu pada dominasi ekonomi kaum minoritas di berbagai negara di semua
belahan dunia.
Bila Soekarno masih hidup, tentu akan menangis tersedu-sedu
menyaksikan semua ini. Maklum, cita-citanya untuk membangun Indonesia
sebagai bangsa besar, dan andal sebagai pemimpin negara-negara dunia
ketiga, terlepas dari ideologi yang dianut, masih saja menjadi
fatamorgana. Soekarno bahkan berencana untuk menggelar konferensi
negara-negara dunia ketiga: Conference of The Newly Emerging Forces.
Tujuannya adalah membentuk liga bangsa-bangsa baru untuk menyaingi PBB
yang didominasi oleh ‘neo-kolonialis’.
Konferensi tersebut dijadwalkan pada akhir 1966. Konferensi ini batal
karena sebelum digelar Soekarno dikudeta. Kekuasaan lalu berpindah ke
tangan rezim Orde Baru, yang justru sangat pro Barat. Lalu
bermunculanlah sejumlah konglomerat yang sampai sekarang mendominasi
sektor bisnis di Indonesia. Melalui sistem proteksi yang mengebiri
persaingan, pemerintah membuat para konglomerat tersebut berkembang
sangat pesat.
Tak pelak, Indonesia lalu terperangkap dalam ekonomi biaya tinggi
karena karena masyarakat dan negara harus membeli barang dan jasa dari
kelompok usaha yang itu-itu saja. Sementara itu, politik beras murah
membuat pemiskinan para petani tak terhindarkan. Akibatnya jumlah
petani gurem meledak, memaksa mereka untuk berbondong-bodong pindah
profesi dan nekad mengadu nasib di perkotaan. Mereka tak peduli meski
akhirnya harus menjadi menjadi gelandangan-pengemis, pedagang kaki-lima,
kuli, bahkan penjahat jalanan.
Sulit bagi para mantan petani tersebut memperoleh pekerjaan layak
karena pendidikan di era Orde Baru dianggap kecil. Lihat saja, menurut
data BPS 2011, sekitar 54,2 juta atau 49,40% tenaga kerja Indonesia
hanya berpendidikan SD, ini pun belum tentu tamat. Mereka yang
berpendidikan setingkat Diploma hanya sekitar 3,2 juta orang atau 2,89%,
dan sarjana 5,6 juta orang atau 5,15%. Maka tak mengherankan bila daya
saing kerja Indonesia, kecuali di bidang otot, sampai sekarang masih
tergolong kelas kambing.
Sejak lengsernya Soeharto, pendidikan telah menjadi anak emas dalam
APBN. Tapi bukan perkara gampang bagi kaum pribumi untuk mengejar
ketertingalannya. Maklum, sejak zaman Belanda, kaum pribumi ditindas
habis-habisan. Berbagai catatan sejarah menunjukkan hanya pribumi dari
kelas sangat elit boleh bersekolah oleh penjajah. Lahan-lahan bisnis
yang tak tertangani oleh Belanda pun diserahkan kepada kaum Cina agar
kaum pribumi tetap miskin dan bodoh.
Di bawah Orde baru, sistem ekonomi gaya kolonial itu hidup kembali.
Bedanya, kali ini, kaum konglomerat lokal yang dibesarkan melalui sistem
proteksi memperoleh bantuan modal dan teknologi dari
perusahaan-perusahaan multinasional yang berbasis di berbagai negara.
Meski menjadi sangat kaya raya, mereka ternyata tak bisa disebut sebagai
kapitalis sungguhan. Di mata pengamat ekonomi dari Jepang, Kunio
Yoshihara, mereka adalah kapitalis semu karena tak menguasai teknologi
dan akses ke pasar internasional.
Di era globaliasi ekonomi seperti sekarang, para konglomerat tersebut
kian beruntung tentunya. Ini karena para pemodal asing yang masuk ke
Indonesia hanya mau berekanan dengan pebisnis yang memiliki rekam jejak
lebih meyakinkan dan menguasai jalur-jalur distribusi barang serta jasa.
Dalam hal ini, secara umum, kaum pribumi jelas bukan pilihan.
Maka tak mengherankan bila julukan sebagai bangsa kuli bakal kian
melekat pada kaum pribumi. Seiring dengan makin kencangnya arus modal
asing di sektor properti perkotaan, kaum ini juga bakal kian tergusur ke
daerah pinggiran. Para mantan penduduk desa yang kini menjubeli
daerah-daerah kumuh perkotaan, jelas tak terkecuali. Padahal, bagi
mereka, kembali ke desa juga tak mungkin karena tanah sudah lama
terjual.
Kegelisahan Soekarno tentang een natie van koelies memang bukan sebuah halusinasi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar